Di muat di Koran SINDO, 09 Juli 2016
Riri Anggraheni Eka Rimandasari
Menjalani puasa dan mempersiapkan Lebaran di negeri lain memang tidak mudah. Seperti Mustafa Yusuf yang sedang menempuh pendidikan di Agra University India. Banyak tantangan, kendala, dan kebiasaan berbeda.
Misalnya musim panas di India yang bisa mencapai 40 derajat hingga 45 derajat Celsius. “Suasana Ramadan di India lebih terasa di kawasan Okhla, Nizamuddin, Jama Mesjid di New Delhi dan beberapa tempat lain. Sebab di wilayah itu masyarakat muslimnya banyak. Warung buka dari sore sampai sahur,” kata Mustafa.
Di luar kawasan itu, suasananya seperti bulanbulan biasa. Tidak ada yang istimewa. Mustafa dan sembilan mahasiswa Indonesia lainnya yang tinggal di New Delhi, sering berkumpul saat berbuka. Ini dilakukan untuk menciptakan kehangatan Ramadan. Mereka kerap memasak makanan khas Indonesia untuk menghapus kerinduan pada Tanah Air. “Ada banyak macam makanan Nusantara pengobat rindu.
Terkadang untuk buka puasa, kami suka bikin yang simpel seperti gorengan, bakwan, risol, mi goreng, kolak, hingga bubur,“ ungkapnya. Para pelajar di tanah rantau umumnya kreatif. Apalagi pada era teknologi canggih seperti sekarang. Jika ingin makan apa saja tinggal browsing.
“Kebetulan kami di sini lebih mengandalkan masak sendiri. Bahanbahannya banyak tersedia kok. Ada pasar internasional, mulai tahu sampai kecap manis,” sebutnya. Pada Ramadan kali ini, puasa di India dirasa cukup berat. Selain waktu berbuka puasa yang lebih lama dibandingkan Indonesia, cuaca panas juga menjadi tantangan lain bagi kaum muslim di sana.
Diakui Mustafa, dengan kondisi cuaca seperti saat ini, dirinya memilih untuk berdiam diri di kamar kosnya. “Saya pribadi jika tidak ada kepentingan ke luar, saya memilih membaca buku saja di kamar kos,” cerita cowok asal Serambi Mekah ini. Dalam mempersiapkan kebutuhan Lebaran di tanah rantau, Mustafa menyiasatinya dengan merancang kegiatan untuk mengisi hari istimewa tersebut.
Terutama untuk persiapan salat Ied. “Kalau persiapan Lebaran seperti salat Ied, kami memastikan terlebih dulu khatib dan imamnya,” kata Mustafa. Sedangkan untuk kebutuhan pribadinya, Mustafa mempersiapkan diri dengan berbelanja di salah satu komunitas muslim di Delhi.
Sejauh ini setelah merasakan beberapa kali ber-Idul Fitri di tanah Bollywood, Mustafa tak merasa kesepian. “Di sini menyenangkan dan silaturahmi terjaga erat. Sama seperti di Indonesia, setelah salat Ied, kami langsung beramah-tamah dengan dubes. Setelah itu, baru kami bikin acara sendiri-sendiri,” ceritanya.
Mustafa mengatakan, berkat keeratan hubungan umat muslim di sana dan ma - syarakat lainnya, kendala ketidakbiasaan, cuaca panas, dan kebiasaan yang berbeda sudah tidak menjadi masalah lagi. Menjalankan puasa dan Lebaran di negeri orang memang tidak mudah, tetapi jika menjalaninya dengan ikhlas dan suka cita, hal itu tidak jadi persoalan lagi.
Reporter : Riri Anggraheni
Riri Anggraheni memulai karirnya sebagai jurnalis televisi dan koran nasional. Riri juga aktif menulis (content writing) untuk berbagai klien nasional maupun internasional. Menjadi jurnalis dan writer memberikan kesempatan baginya untuk mengembangkan passion dan bakat di bidang writing. Selain itu, Riri juga aktif di berbagai kegiatan Non Government Organization (NGO) dan kerelawanan.
Riri Anggraheni Eka Rimandasari
Image : 121clicks
Menjalani puasa dan mempersiapkan Lebaran di negeri lain memang tidak mudah. Seperti Mustafa Yusuf yang sedang menempuh pendidikan di Agra University India. Banyak tantangan, kendala, dan kebiasaan berbeda.
Misalnya musim panas di India yang bisa mencapai 40 derajat hingga 45 derajat Celsius. “Suasana Ramadan di India lebih terasa di kawasan Okhla, Nizamuddin, Jama Mesjid di New Delhi dan beberapa tempat lain. Sebab di wilayah itu masyarakat muslimnya banyak. Warung buka dari sore sampai sahur,” kata Mustafa.
Di luar kawasan itu, suasananya seperti bulanbulan biasa. Tidak ada yang istimewa. Mustafa dan sembilan mahasiswa Indonesia lainnya yang tinggal di New Delhi, sering berkumpul saat berbuka. Ini dilakukan untuk menciptakan kehangatan Ramadan. Mereka kerap memasak makanan khas Indonesia untuk menghapus kerinduan pada Tanah Air. “Ada banyak macam makanan Nusantara pengobat rindu.
Terkadang untuk buka puasa, kami suka bikin yang simpel seperti gorengan, bakwan, risol, mi goreng, kolak, hingga bubur,“ ungkapnya. Para pelajar di tanah rantau umumnya kreatif. Apalagi pada era teknologi canggih seperti sekarang. Jika ingin makan apa saja tinggal browsing.
“Kebetulan kami di sini lebih mengandalkan masak sendiri. Bahanbahannya banyak tersedia kok. Ada pasar internasional, mulai tahu sampai kecap manis,” sebutnya. Pada Ramadan kali ini, puasa di India dirasa cukup berat. Selain waktu berbuka puasa yang lebih lama dibandingkan Indonesia, cuaca panas juga menjadi tantangan lain bagi kaum muslim di sana.
Diakui Mustafa, dengan kondisi cuaca seperti saat ini, dirinya memilih untuk berdiam diri di kamar kosnya. “Saya pribadi jika tidak ada kepentingan ke luar, saya memilih membaca buku saja di kamar kos,” cerita cowok asal Serambi Mekah ini. Dalam mempersiapkan kebutuhan Lebaran di tanah rantau, Mustafa menyiasatinya dengan merancang kegiatan untuk mengisi hari istimewa tersebut.
Terutama untuk persiapan salat Ied. “Kalau persiapan Lebaran seperti salat Ied, kami memastikan terlebih dulu khatib dan imamnya,” kata Mustafa. Sedangkan untuk kebutuhan pribadinya, Mustafa mempersiapkan diri dengan berbelanja di salah satu komunitas muslim di Delhi.
Sejauh ini setelah merasakan beberapa kali ber-Idul Fitri di tanah Bollywood, Mustafa tak merasa kesepian. “Di sini menyenangkan dan silaturahmi terjaga erat. Sama seperti di Indonesia, setelah salat Ied, kami langsung beramah-tamah dengan dubes. Setelah itu, baru kami bikin acara sendiri-sendiri,” ceritanya.
Mustafa mengatakan, berkat keeratan hubungan umat muslim di sana dan ma - syarakat lainnya, kendala ketidakbiasaan, cuaca panas, dan kebiasaan yang berbeda sudah tidak menjadi masalah lagi. Menjalankan puasa dan Lebaran di negeri orang memang tidak mudah, tetapi jika menjalaninya dengan ikhlas dan suka cita, hal itu tidak jadi persoalan lagi.
Reporter : Riri Anggraheni
Riri Anggraheni memulai karirnya sebagai jurnalis televisi dan koran nasional. Riri juga aktif menulis (content writing) untuk berbagai klien nasional maupun internasional. Menjadi jurnalis dan writer memberikan kesempatan baginya untuk mengembangkan passion dan bakat di bidang writing. Selain itu, Riri juga aktif di berbagai kegiatan Non Government Organization (NGO) dan kerelawanan.
Komentar
Posting Komentar