Gerakan membawa sastra Indonesia ke panggung dunia sudah menjadi wacana yang hangat dan lama diperbincangkan di Badan Bahasa sebagai lembaga yang berkepentingan terhadap hal itu.
Berkenaan dengan gagasan itu, kehadiran perhimpunan dan komunitas sastra yang menyelenggarakan diskusi, seminar, festival, penerbitan, dan penerjemahan sastra; baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun kelompok independen seperti Mastra (Majlis Sastra Asia Tenggara), Yayasan Lontar,Ubud’s Writers and Readers Festival, Salihara Biennalle Literary, Bali Emerging Writers Festival, Makassar Writers Festival, dan Persatuan Budaya dan Sastra Serumpun (PSBNS), sangat patut untuk dicermati kiprahnya.
Peran perhimpunan dan komunitas sastra seperti ini dalam memperkenalkan karya sastra ke pentas antar bangsa ternyata penting dan memiliki sumbangan yang tidak kecil bagi promosi hasil kesusasteraan Indonesia. Perhimpunan sastra dan ajang-ajang festival itu memiliki andil peran dalam membawa sastra Indonesia ke pentas dunia.
Berkaitan dengan peringatan hari Kartini, 21 April 2017, Komunitas Salihara mengadakan Gerakan Indonesia Membaca Sastra (GIMS) berupa rekaman pembacaan surat kartini.
Pendaftaran dibuka sejak akhir 2016 hingga Januari 2017, memperoleh ribuan pendaftar yang antusias, kemudian Salihara menentukan puluhan pesertanya. Saya termasuk didalamnya :)
Acara ini diprakarsai oleh Ayu Utami, Olin Monteiro dan tim Salihara. Saya tidak tahu pasti Goenawan Mohammad sebagai pengurus Salihara terlibat atau tidak.
Begitu membaca email Salihara untuk menghadiri undangan dan memilih hari rekaman (shooting), saya langsung nyengir.
Saya pilih hari dimana saya sedang libur. Kondisinya saat itu saya masih bergabung sebagai jurnalis di TV One. Di hari H, ternyata 2 teman lainnya sudah datang, Mba Mutiara yang merupakan dokter gigi dan penari serta Mba Ajeng yang merupakan dosen.
Kami menaiki undakan tangga yang melewati Galeri Salihara kemudian masuk ke ruang auditorium. Di sana kami bergantian membaca Surat Kartini yang dipilihkan dimulai dari Mutiara, Ajeng dan kemudian saya.
Saya memang sudah terbiasa di depan kamera lantaran saya memang jurnalis selama setahun itu di media cetak dan TV. Tapi, atmosfer disini berbeda. Karena saya tak sekedar membacakan narasi tetapi Surat Kartini. Surat legendaris yang penuh akan rasa.
Surat yang saya bacakan saat itu adalah Surat Kartini, 11 Oktober 1901 kepada Nona E.H. Zeehandelaar. Berikut salah satu petikannya :
“…Adapun sekarang, wahai teman setia, saya akan bercerita kepadamu. Tentu saja benar-benar dari hati ke hati tentang berbagai hal mengenai rencana kami. Jalan bagi kami untuk berdiri sendiri akan terbuka. Dengan demikian kami dapat mengabdikan diri kepada sesama manusia seperti dokter, bidan, guru, pengarang, ahli dalam berbagai seni rupa….”
Durasinya sekitar 30 menit, namun untuk membacanya tak boleh ada salah kata, 'terselimpet' dan sebagainya sehingga harus diulang jika salah. Mengenai tayangan video ini dipublikasikan di Salihara TV. Hari ini saya bahkan baru sadar sudah di publish😅
Riri Anggraheni Eka Rimandasari membacakan surat Kartini 11 Oktober 1901
https://youtu.be/UlPzsK98iIc
Setelah kami selesai, kami selfie bersama, bercakap sebentar kemudian menuju Teater Atap Salihara dan berpose yang dijepret oleh Fotografer Salihara, Mas Witjak. Seruuuuu banget!😍❤
Saya tidak bisa ikut jalan-jalan di luar bersama mereka karena saya sudah ditunggu salah seorang teman laki-laki yang berjam-jam nunggu saya untuk berkolaborasi. Ternyata dia bawa pamannya jadi katanya nggak terlalu bosen, selesai itu kami ngobrol di Kafe dan...Goenawan Mohammad melintas! Saya sempat tersenyum dan mengangguk dan dibalas. Ah, tapi menyesal tidak langsung menyapa dan ngobrol. Yah, namanya juga saya sudah ada janji sedangkan beliau mau isi acara, yasudahlah kapan-kapan saja.
Ini beberapa foto saya dan teman-teman, ah kangen!
Riri Anggraheni - Mutiara - Ajeng
Pose model Aneka Yess!
Potret perempuan modern di bawah temaram senja
Komentar
Posting Komentar